SEPAK bola dan agama. Dua kata itu kiranya tak habis-habis menjadi bahan perdebatan acapkali kompetisi besar si kulit bundar digelar. Pun dengan Piala Dunia 2022 Qatar kali ini, perdebatan, bahkan pertengkaran, membuncah dari awal hingga penghujung festival.
Ketika Arab Saudi membuat kejutan besar dengan mengalahkan Argentina 2-1 pada partai pertama Grup C, agama dibawa-bawa. Kata mereka, kemenangan itu merupakan kemenangan muslim. Arab Saudi memang negara Islam, tetapi apa hubungannya hasil pertandingan sepak bola dengan agama?
Ketika Maroko tampil fantastis dengan menjuarai Grup F, kemudian menghajar Spanyol pada 16 besar, lantas membekuk Portugal di perempat final, agama kembali dibawa-bawa. Mereka bilang hasil cemerlang itu ialah kegemilangan Islam, kebangkitan Islam. Lebih dari 98 persen dari sekitar 37 juta penduduk Maroko memang beragama Islam, tetapi apa kaitannya sepak terjang the Atlas Lions di rumput hijau dengan agama?
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Happy
Inspire
Confuse
Sad
Pun pada semifinal, ketika Maroko akhirnya harus mengakui keunggulan Prancis 0-2, kemarin dini hari, agama dibawa-bawa pula. Ada yang bilang Prancis membuktikan bahwa Kristen lebih hebat ketimbang Islam. Prancis memang negara dengan mayoritas populasi beragama Nasrani, tapi apa urusannya kemenangan mereka atas Maroko dengan agama?
Menyebut kemenangan Prancis dengan embel-embel agama Kristen tak hanya menunjukkan cupet nalar, tetapi juga kurang piknik. Bukankah banyak orang Islam di Prancis? Bukankah ada pemain muslim di Les Bleus, seperti Karim Benzema, Ousmane Dembele, Youssouf Fofana, dan Ibrahima Konate?
Masih banyak narasi berbau agama yang membuat bising Piala Dunia. Narasi-narasi yang ditebarkan lalu menjadi bahan perselisihan, terutama di media sosial. Narasi-narasi yang sulit diterima akal, tetapi terus dipelihara.
Narasi-narasi itu merepetisi cerita-cerita sepak bola bernuansa agama sebelumnya. Pada Mei 2018, umpamanya, ada Aksi Bela Salah untuk membela Mohamed Salah. Striker Liverpool asal Mesir itu cedera parah karena dilanggar bek Real Madrid Sergio Ramos pada final Liga Champions.
Yang aneh, pembelaan juga didasarkan pada agama Salah. Kata mereka, Salah perlu dibela sebagai saudara seiman yang sedang teraniaya. Mereka malahan sempat berencana unjuk rasa di Kedubes Spanyol di Jakarta.
Kalau sepak bola dibumbui agama, kacau jadinya. Sepak bola memang kerap disebut sebagai ‘olahraga suci’. Mendiang Diego Maradona pernah mengatakan, “Sepak bola bukan cuma permainan atau cabang olahraga, sepak bola itu agama.” Legenda lainnya, Pele, bahkan bilang, “Saya menyembah bola dan memperlakukannya seperti Tuhan.”
Tentu sepak bola sebagai agama yang dimaksud Maradona dan Pele bukanlah agama terkait keimanan kepada sang Pencipta. Ia lebih pada penegasan betapa agungnya sepak bola dengan miliaran ‘pengikut’ fanatik di seluruh jagat raya.
Sepak bola tak ada urusannya dengan agama, juga dengan ras, etnik, ataupun kodrati manusia lainnya. Bola tak pilih-pilih siapa yang menendangnya. Tak peduli apakah dia orang Islam, Kristen, Yahudi, Zoroaster, Buddha, Hindu, Konghucu, Shinto, atau bahkan tak beragama sekalipun.
Bola tak membeda-bedakan siapa yang menyundulnya. Apakah dia berkulit hitam, putih, kuning, atau sawo matang, semuanya diperkenankan. Bola juga tak pilih kasih untuk dipeluk kiper, apakah dia dari Afrika, Eropa, Amerika, Oceania, atau Asia. Ia rela ditendang, disundul, dipeluk siapa saja, agama apa saja, dengan latar belakang apa saja.
Argentina kalah dari Arab Saudi pasti bukan karena the Green Falcons dari negara Islam dan tim Tango dari negara mayoritas Katolik, melainkan karena Saudi memang tampil lebih apik saat itu. Prancis menang atas Maroko jelas bukan lantaran agamanya, melainkan karena materi dan permainan mereka lebih bagus kala itu.
Kenapa Eropa dan Amerika Latin tak tergoyahkan sebagai adi kuasa sepak bola dunia juga bukan karena agama. Dominasi mereka semata buah dari melimpahnya stok talenta dan profesionalitas dalam mengelolanya. Mereka merajai sepak bola karena punya kompetisi yang baik sejak usia dini. Bukan kompetisi-kompetisian, bukan pula dengan cara instan.
Terus mengaitkan sepak bola dan agama hanyalah mengabadikan kemunduran. Selalu menghubung-hubungkan sepak bola dengan keimanan dan kepercayaan kiranya merusak semangat sepak bola sebagai penghadir kegembiraan.
Pada Piala Dunia kali ini, saya tadinya menjagokan Argentina juara agar agar karier idola saya, Lionel Messi, paripurna, sempurna. Namun, setelah Maroko tampil brilian, saya sempat pindah ke lain hati. Bukan karena agama tentu saja, saya senang Maroko berjaya agar trofi juara tak melulu mengisi lemari tim Eropa atau Amerika Latin. Saya bahagia jika kampiun Piala Dunia sekali-kali singgah ke negara berkembang di dunia sepak bola.
Kekalahan Maroko di empat besar mengecewakan nian. Namun, kata para bijak selalu ada berkah di balik musibah. Blessing in disguise. Setidaknya pada final yang mempertemukan Argentina dan Prancis, Minggu, 18 Desember 2022, saya bisa khusyuk menikmati tayangan di channel berbayar tanpa gangguan komen berbau agama nan menyebalkan. Dan, tentu saja sembari berharap Argentina yang juara nantinya.